“Saya ingin mengajak umat Kristiani dengan percaya diri, dan dengan kreativitas yang terbina dan bertanggungjawab, bergabung dalam jejaring hubungan yang dimungkinkan oleh jaman digital. Hal ini bukan saja untuk memuaskan keinginan untuk hadir, tetapi karena jejaring ini merupakan bagian utuh dari hidup manusia. Internet memberikan sumbangsih bagi perkembangan cakrawala intelektual dan spiritual yang lebih kompleks, bentuk-bentuk baru kesadaran berbagi. Di dalam wilayah ini juga kita dipanggil untuk memaklumkan iman kita bahwa Kristus adalah Allah, Penyelamat umat manusia dan Penyelamat sejarah, yang di dalam-Nya segala sesuatu memperoleh kepenuhannya (bdk. Efesus 1:10).” ~ Paus Benediktus XVI, Hari Komunikasi Sedunia ke-45, Juni 2011

Minggu, 25 September 2011

Belajar dari Anak Kecil, Mungkinkah?


Belajar dari Anak Kecil, Mungkinkah? 

Sebelum kita masuk ke dalam inti dari renungan kita hari ini, marilah kita belajar sedikit dari sekelumit penggalan pengalaman hidup seorang Santa yang mempersembahkan hidupnya pada CINTA KASIH ini, "Para suster biasa mencuci baju-baju mereka dengan tangan. Seorang suster tanpa sengaja selalu mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster tua yang selalu bersungut-sungut dan banyak kali mengeluh karena sakitnya. Theresia berusaha melayani dia seolah-olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah pekerjaan yang membuat Theresia sangat bahagia."

(Mari kita renungkan sejenak.................)


Kepribadian seorang anak, sangatlah ditentukan oleh pola didik orang tua. Dalam hal ini, tanggung jawab sebagai orang tua tidaklah hanya mencukupi kebutuhan financial, melainkan juga mencukupi kebutuhan rohani di dalam keluarga, khususnya bagi sang buah hati.


Mungkin kadang kita merasa bila kita telah menjadi orang tua yang baik; saat kita bisa membelikan segala keinginan sang anak, menyekolahkan di sekolah favorit, atau membelikan makanan yang enak. Sebenarnya hal yang tampak tersebut tidaklah cukup. Banyak orang tua gagal mendidik anak karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Biasanya, kegagalan orang tua dalam mendidik anak terjadi karena orang tua merasa diri lebih pintar dan dewasa dari sang anak (terlalu superior). Mungkin memang hal ini ada benarnya. Namun jangan sampai kita sebagai orang tua menjadikan anak sebagai obyek. Kita menjadikan segala kepintaran dan kedewasaan kita untuk membentuk anak sesuai dengan keinginan kita. Kita terlalu menguasai anak kita, dan kurang mau memperhatikan dan mendengarkan pendapat anak kita. Banyak orang tua telah mempersiapkan sesuatu untuk masa depan anaknya. Mereka mempersiapkan sekolah pilihan buat anaknya, mereka sudah menentukan pilihan bidang studi yang diambil oleh sang anak kelak, mereka memaksa sang anak mengikuti banyak bimbingan belajar dengan harapan anaknya kelak bisa menjadi pintar, dan bisa menjadi orang yang mereka inginkan. Dalam hal ini, sebenarnya orang tua telah mempersiapkan semua itu untuk siapa? Untuk kebahagiaan sang anak, anak orang tua sendiri? Karena banyak fakta menunjukkan bahwa banyak anak menderita secara batin karena mereka terlalu dibentuk sesuai dengan keinginan orang tua. Banyak orang tua yang merasa lebih pintar dan dewasa, telah membuat anak-anak mereka menjadi tertekan dan tidak merasakan kebahagiaan.

Sebenarnya, saat sang buah hati lahir, pada saat itulah orang tua sebaiknya bisa menanamkan dalam hatinya sebuah saat untuk memulai pelajaran dan pengalaman baru. Sehingga kita sebagai orang tua, tidak merasa diri paling benar dan paling bisa mengatur segala sesuatu bagi sang anak, namun kita mau bertumbuh bersama sang anak. Bertumbuh dan belajar bersama sang anak, tentu bukanlah hal yang mudah. Kita tidak hanya cukup mendidik anak dengan segala sesuatu yang telah kita rencanakan sendiri dan hanya sesuai dengan pemikiran-pemikiran kita (yang mungkin udah tidak up-to-date), melainkan juga meluangkan waktu bagi sang buah hati.

Seorang anak kecil, mungkin terlihat kurang bisa memberikan kontribusi yang besar dalam pertumbuhan kedewasaan kita. Namun sebenarnya, dari seorang anak kecil, kita bisa banyak belajar yang berguna bagi kedewasaan kita. Dan bila kita telah menutup dri dengan merasa diri paling benar, dewasa, dan pintar, kita akan banyak sekali kehilangan pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita, khususnya untuk menjadi orang tua yang semakin baik.

Pada saat anak masih balita, khususnya masih berusia dua hingga tiga tahun, buah hati kita mungkin sering menangis. Bila kita merasa lebih dari mereka, kita akan merasa bila menangis tanpa alasan adalah sebagai sesuatu hal yang bodoh. Dan urusan mendiamkan sang buah hati, bukanlah level kita. Itu bukan urusan kita, malainkan bidangnya si mbak. Seperti seorang tuan, yang harus mengepel lantai rumahnya. Pasti dia akan lebih memilih pembantunya untuk mengepel lantai daripada harus bersusah payah mengepel lantai sendiri. Walaupun sebenarnya dengan mengepel lantaipun, si tuan bisa mendapatkan manfaatnya, bila si tuan mau berpikir,”itung-itu olah raga, daripada di rumah hanya tidur melulu.”

Begitu juga dengan orang tua yang harus mendiamkan anaknya saat sedang menangis. Bila orang tua mau berpikir bahwa mendiamkan sang buah hati saat menangis adalah proses kecil untuk mendidik sang anak dan diri sendiri, maka sang ibu telah memulai sebuah langkah kecil yang baik dalam proses pendidikan anak untuk menjadi lebih dewasa, dan pendidikan sang ibu untuk bisa menjadi ibu yang lebih baik. Secara sadar atau tidak sadar, hal itu bisa menjadi proses terciptanya sebuah hubungan batin, hubungan kasih.
Hubungan batin antara orang tua dan anak adalah sesuatu yang penting dalam proses pendidikan anak. Saya pernah menjumpai seorang anak didik saya di sekolah, yang tidak merasakan adanya hubungan batin dengan orang tuanya, sehingga dia bertumbuh menjadi anak yang bandel untuk memuaskan kerinduannya mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Dia tidak mau mendengarkan orang tuanya, karena orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hampir tidak pernah menyentuh dan memebrikan belaian kasih sayang kepada sang anak. Dan mungkin bila orang tuanya menasihati anak itu, anak itu akan berkata,”Siapa loh?”

Mungkin itu hanyalah salah satu kasus dimana orang tua yang merasa diri lebih pintar dan dewasa sehingga mengabaikan tanggung jawab sejati sebagai orang tua. Untuk kasus yang lain, saya akan memberikannya dalam bentuk syair. Syairnya seperti ini:
"Saat kita mau meminta maaf kepada anak kita, kita telah mengajarkan kepada anak kita akan pentingnya kata maaf saat berbuat kesalahan, dan kita pun telah belajar makna kerendahan hati saat menjadi orang tua. Sikap rendah hati akan membuat anak mampu menjadi lebih terbuka tanpa merasa tertekan dan merasa segan.

Saat kita mau mengucapkan terima kasih kepada anak kita, kita telah mengajarkan kepada sang anak makna kebaikan yang harus dijunjung tinggi dan dilakukan dalam hidup sehari-hari. Dan kita pun belajar bersyukur atas kebaikan Tuhan yang diberikan lewat anak kita. Karena dengan bersyukur pula, kita bisa menerima anak kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saat kita mau mengganti popok anak kita, setelah anak kita ngompol, kita telah mengajarkan kepada anak kita makna saling membantu saat orang lain ada dalam kesulitan dan ketidakberdayaan. Dan kita pun telah belajar untuk tidak membiarkan orang lain terutama anak kita ada dalam kesusahan, karena sesama dan anak kita adalah bagian dari diri kita sendiri."

Mari kita kekayaan temukan dalam diri buah hati anda. Masih banyak kekayaan yang ada di dalam diri mereka yang bisa kita gali dan kita petik saat  kita memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus, dan rela melakukan hal-hal sepele untuk mereka. Percayalah, segala  hal yang kita lakukan bagi mereka sekecil apa pun, akan menghasilkan buah yang baik bagi diri kita dan menghasilkan kedamaian dan suka cita  bagi sang buah hati. Sehingga KASIH Kristus yang kita IMANi, akan membawa PENGHARAPAN  indah bagi sang buah hati saat kita bisa menjadi seorang teladan yang baik.

 “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas mereka ia memberkati mereka. (Mrk 10:13-16).

Ditulis oleh : Zepe

Sumber:
http://creativeparenting-kakzepe.blogspot.com/2011/09/belajar-dari-anak-kecil-mungkinkah.html


Tidak ada komentar: