“Saya ingin mengajak umat Kristiani dengan percaya diri, dan dengan kreativitas yang terbina dan bertanggungjawab, bergabung dalam jejaring hubungan yang dimungkinkan oleh jaman digital. Hal ini bukan saja untuk memuaskan keinginan untuk hadir, tetapi karena jejaring ini merupakan bagian utuh dari hidup manusia. Internet memberikan sumbangsih bagi perkembangan cakrawala intelektual dan spiritual yang lebih kompleks, bentuk-bentuk baru kesadaran berbagi. Di dalam wilayah ini juga kita dipanggil untuk memaklumkan iman kita bahwa Kristus adalah Allah, Penyelamat umat manusia dan Penyelamat sejarah, yang di dalam-Nya segala sesuatu memperoleh kepenuhannya (bdk. Efesus 1:10).” ~ Paus Benediktus XVI, Hari Komunikasi Sedunia ke-45, Juni 2011

Rabu, 22 Juni 2011

Mie Instant VS Daun Pepaya (by: ZP)

 Mie Instant VS Daun Pepaya (by: ZP)

Bila kita melihat rasa, saya yakin, sebagian besar manusia lebih memilih mie instant daripada daun pepaya. Mie instant memiliki rasa yang gurih dan lezat, apalagi bila diberi cabe dan bumbu masak yang menambah cita rasa masakan. Bagaimana dengan daun pepaya? Udah rasanya pahit, bentuknya juga kurang menarik.

Tapi tahukah anda bila mie instant mengandung bahan pengawet? Dan mie tersebut terkandung lilin yang berfungsi untuk melapisi mie instant (mungkin itu juga yah yang menyebabkan mie tidak lengket satu dengan yang lainnya). Pernah rekan saya bereksperimen dengan cara menyimpan kuah hasil olahan mie instan selama 3 hari, dan ternyata memang terbukti ditemukan zat seperti lilin.



Bagaimana dengan daun pepaya? Daun pepaya, meski rasanya pahit, namun daun pepaya memiliki khasiat yang sangat banyak. Diantaranya adalah memperlancar pencernaan, menambah nafsu makan, antibiotik demam berdarah, dan justru bisa mengobati kanker.
Seperti kehidupan kita, terkadang kita merasa terbuai dengan hal-hal yang terlihat menyenangkan. Namun dalam keadaan tersebut, secara tidak sadar kita membentuk iman dan kasih kita menjadi lemah. Karena terlalu sering belanja barang-barang yang mahal, makan makanan mewah, pergi ke tempat yang mengasyikkan, dan lain-lain, sebenarnya kita sudah beberapa langkah menjauh dari Tuhan. Kasih kita pun bisa menjadi tumpul karenanya. Kita menjadi mudah memandang rendah orang lain yang status sosialnya jauh di bawah kita, kita menjadi malas berdoa karena kesibukan yang menghasilkan uang, kita jadi malas ke gereja karena ada tempat yang lebih mengasyikkan. Dan bila kita tidak waspada, lama-kelamaan hati kita menjadi keras dan sulit untuk diubah menjadi lebih baik.

Itulah pentingnya “daun pepaya” dalam kehidupan kita. Itulah pentingnya berbagi dengan sesama meski kita dalam keadaan sulit, menyediakan waktu untuk berdoa meski banyak kesibukan, rela membantu sesama meski diri kita sendiri sebenarnya memerlukan bantuan. Memang, rasanya benar-benar tidak enak. Pahit banget. Namun percayalah, bila kita sudah terbiasa memakan daun pepaya, pahitnya daun pepaya menjadi tidak terasa lagi. Yang terasa hanyalah tubuh kita yang semakin sehat karena khasiat daun pepaya yang tidak enak. Memberi itu tidak enak, apalagi disaat kita sendiri sedang susah. Namun didalam ketidakenakan itulah jiwa kita semakin dimurnikan hingga kita semakin mengerti makna kasih yang sejati, dan merasakan bila memberi bukan lagi sebagai beban apalagi kewajiban, melainkan kebutuhan. Kebutuhan yang membuahkan suka cita di hati di dalam Tuhan.
(ZP)




Sumber gambar: sangkakalaterbuka.blogspot.com, netsains.com

2 komentar:

Romi mengatakan...

Setuju, hanya melalui salib kita akan mendapatkan kebahagiaan yg sejati, kebahagiaan instan sifatnya hanya sementara. Good article Bro :)

Bento mengatakan...

Bagus ya .. Nice article bro ...